Zona Euro tengah berada dalam tekanan yang semakin nyata. Setelah bertahun-tahun berjuang melawan dampak pandemi dan ketegangan geopolitik global, kawasan ini kini menghadapi dua tantangan ekonomi yang berjalan bersamaan: pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan inflasi yang masih tinggi — sebuah kombinasi yang dikenal sebagai stagflasi.
Stagflasi bukanlah hal baru dalam sejarah ekonomi, tetapi merupakan salah satu kondisi yang paling sulit dihadapi oleh pemerintah dan bank sentral. Dalam situasi normal, inflasi tinggi bisa diatasi dengan menaikkan suku bunga. Namun, ketika inflasi tinggi terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang lemah atau kontraksi, kebijakan menjadi sangat kompleks.
Pertumbuhan yang Mandek di Kawasan Ekonomi Terbesar Kedua Dunia
Data Eurostat terbaru menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) zona euro hanya tumbuh 0,1% pada kuartal pertama 2025 dibanding kuartal sebelumnya. Bahkan, beberapa negara seperti Jerman dan Italia mencatatkan kontraksi ringan, menandakan tekanan struktural di ekonomi utama Eropa.
Sektor industri Jerman terus menunjukkan pelemahan akibat melemahnya permintaan global dan naiknya harga energi. Sementara itu, tingkat kepercayaan konsumen di Prancis dan Spanyol masih berada di level rendah, mencerminkan kekhawatiran rumah tangga terhadap daya beli yang terus tergerus inflasi.
Inflasi yang Tak Kunjung Mereda
Meski tren inflasi menunjukkan sedikit pelonggaran dibandingkan tahun lalu, angka inflasi inti di zona euro masih bertahan di kisaran 3,6%, jauh di atas target Bank Sentral Eropa (ECB) sebesar 2%. Harga energi, pangan, dan layanan tetap menjadi pendorong utama tekanan harga. Di banyak negara, biaya hidup tetap tinggi, sementara pertumbuhan upah tidak cukup cepat untuk mengimbanginya.
Masalah semakin rumit ketika ECB menghadapi dilema: menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi bisa semakin memperlambat ekonomi. Namun, jika suku bunga dibiarkan terlalu rendah, inflasi bisa tetap tinggi dan mengikis daya beli masyarakat.
Kebijakan Moneter dalam Posisi Sulit
Christine Lagarde, Presiden ECB, dalam pernyataan terbarunya menekankan bahwa bank sentral masih berkomitmen pada stabilitas harga, tetapi juga mencermati tekanan ekonomi yang muncul. Banyak analis kini berspekulasi bahwa ECB akan menunda pelonggaran moneter hingga ada kepastian inflasi benar-benar turun secara berkelanjutan.
ECB telah menaikkan suku bunga secara bertahap sejak 2022, dan kini suku bunga acuan berada di level 4,25% — level tertinggi dalam lebih dari satu dekade. Namun, efek dari kebijakan ini mulai terasa dalam bentuk melemahnya permintaan pinjaman, penurunan investasi, dan tekanan di sektor properti.
Kebijakan Fiskal yang Terbatas
Pemerintah-pemerintah di Eropa juga menghadapi keterbatasan ruang fiskal. Setelah gelombang stimulus besar pada masa pandemi, kini mereka dibayangi oleh defisit anggaran dan utang publik yang tinggi. Negara seperti Italia dan Prancis harus berhati-hati dalam menyalurkan subsidi atau stimulus tambahan, agar tidak menyalakan kembali tekanan inflasi.
Sementara itu, tekanan sosial mulai meningkat. Gelombang demonstrasi di beberapa kota besar terkait kenaikan harga dan upah minimum menjadi indikator bahwa ketidakpuasan publik bisa menjadi risiko politik baru di kawasan ini.
Risiko ke Depan: Ketegangan Geopolitik dan Krisis Energi
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina yang belum usai serta konflik di Timur Tengah menambah ketidakpastian. Eropa yang masih sangat bergantung pada impor energi harus terus mencari strategi diversifikasi pasokan, namun proses ini memerlukan waktu dan investasi besar.
Jika harga energi melonjak lagi seperti pada 2022–2023, maka inflasi bisa kembali naik, dan skenario stagflasi bisa bertahan lebih lama dari perkiraan.
Kesimpulan: Navigasi Sulit di Zona Abu-Abu Ekonomi
Kondisi ekonomi zona euro saat ini menggambarkan situasi klasik “terjebak di tengah”: inflasi terlalu tinggi untuk dibiarkan, tetapi pertumbuhan terlalu lemah untuk ditekan lebih lanjut. Investor, pelaku usaha, dan konsumen menghadapi periode ketidakpastian yang belum tentu segera berakhir.
Di tengah kondisi ini, pendekatan yang hati-hati, fleksibel, dan adaptif menjadi kunci — baik untuk pengambil kebijakan, pelaku pasar, maupun individu. Karena saat ekonomi berada dalam zona abu-abu seperti ini, tidak ada solusi tunggal yang bisa menyelesaikan semuanya secara cepat.